FREKUENSINEWS – Sejumlah kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum dokter kembali mencuat ke publik, memunculkan kekhawatiran terkait penyalahgunaan profesi medis. Dugaan kuat menunjukkan bahwa para oknum dokter ini melakukan tindakan yang mengarah kepada pelecehan seksual terhadap pasien di luar prosedur medis yang sah.
Juju Purwantoro, Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (AKSI), menegaskan bahwa tindakan oknum dokter tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara, pencabutan hak profesi, serta pengumuman identitas pelaku.
“Tindakan seperti ini sangat serius karena melibatkan kepercayaan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga medis. Pelaku dalam hal ini berhak dihukum berat, dengan mempertimbangkan posisinya sebagai tenaga kesehatan,” tegas Juju.
Baca Juga: Demokrasi vs Sistem Satu Partai: Dua Kutub Ekstrem dalam Pemerintahan Umat Manusia
Selain UU TPKS, oknum dokter yang terbukti melakukan pelecehan seksual juga dapat dikenai Pasal 289 dan Pasal 290 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait perbuatan cabul. Juju menambahkan, hubungan antara dokter dan pasien seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan, namun sayangnya, kepercayaan itu dapat disalahgunakan ketika seorang dokter melewati batas profesionalisme.
“Hubungan dokter dan pasien seharusnya didasarkan pada rasa saling percaya. Ketika seorang dokter menyalahgunakan posisi ini, maka itu adalah pelanggaran berat terhadap kode etik profesi dan hukum yang berlaku,” tambah Juju.
Pelanggaran Etik dan Sanksi Disiplin
Baca Juga: Pasar Saham Eropa Melemah Usai ECB Pangkas Suku Bunga, Saham Teknologi dan Perbankan Tertekan
Perbuatan yang dilakukan oleh oknum dokter ini juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) berwenang untuk memberikan sanksi, termasuk pencabutan izin praktik secara permanen bagi dokter yang terbukti bersalah.
Selain proses pidana dan sanksi etik, korban juga berhak menuntut ganti rugi melalui jalur perdata, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum. Kerugian yang dapat dituntut mencakup kerugian fisik, psikis, hingga finansial.
“Kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi kuasa seperti ini harus ditangani dengan serius. Hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap pasien, tetapi juga bentuk kejahatan yang merusak martabat profesi kedokteran,” ujar Juju.
Baca Juga: Komisi III DPR Minta Polri Susun Jadwal Rotasi Polantas Demi Kesehatan Anggota
Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban
Juju juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas serta perlindungan maksimal bagi korban. Ia menyerukan agar institusi medis dan aparat penegak hukum bekerja sama untuk menjaga martabat profesi kedokteran serta memberikan keadilan bagi para korban.
“Komitmen kuat dari aparat penegak hukum, pengawasan dari institusi medis, dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan perlindungan maksimal terhadap korban dan mencegah kejadian serupa di masa depan,” pungkas Juju.
Baca Juga: Silaturahmi Akbar PPDI Ciamis: Hangatkan Kebersamaan, Perkuat Komitmen Pelayanan Desa