Frekuensi News - Krisis politik yang melanda Myanmar hingga kini masih berlangsung.
Baru-baru ini, mantan pemimipin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi pada Senin, 6 Desember 2021 waktu setempat divonis selama dua tahun penjara.
Dalam vonis yang dijatuhkan oleh pemerintahan militer tersebut, Aung San Suu Kyi dinyatakan bersalah atas hasutan terhadap militer dan melanggar aturan Covid-19.
Awalnya, pengadilan khusus menghukum Aung San Suu Kyi selama empat tahun penjara.
Baca Juga: Kota Bogor Akan Terapkan Sistem Buka Tutup Sejumlah Ruas Jalan Jelang Nataru 2022
Hukuman tersebut dikurangi separuhnya menjadi dua tahun, setelah kepala Junta Myanmar memberikan 'pengampunan' terhadap peraih Nobel Perdamaian tersebut.
Namun, putusan pidana oleh Junta Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi tersebut pun dengan cepat mengundang kecaman dari internasional.
Seperti diketahui, Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak para jenderal melancarkan kudeta dan menggulingkan pemerintahannya pada 1 Februari, mengakhiri periode singkat demokrasi di negara Asia Tenggara itu.
Sejak saat itu, Suu Kyi telah dikenai serangkaian tuduhan, termasuk melanggar undang-undang rahasia resmi, mengimpor walkie talkie dan penipuan pemilu secara ilegal, dan menghadapi puluhan tahun penjara jika terbukti bersalah atas semua tuduhan.
Baca Juga: Mengenal Mom Shaming, Toxic yang Kerap Dialami Mama Milenial dan Gen Z
Menurut sebuah pernyataan yang dibacakan di TV pemerintah, mantan presiden Win Myint juga awalnya dipenjara selama empat tahun, tetapi ia "diampuni" oleh kepala Junta Min Aung Hlaing dan dijatuhi hukuman "dua tahun penjara".
Dikutip oleh frekuensinews.com dari Pikiran Rakyat pada artikel yang berjudul Internasional Kecam Putusan Junta Myanmar Penjarakan Aung San Suu Kyi Selama 2 Tahun, dalam pernyataan itu, keduanya akan menjalani hukuman dengan tetap berada di bawah tahanan rumah di ibu kota Naypyidaw tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Penduduk di beberapa bagian ibu kota komersial Yangon menggedor panci dan wajan, sebuah praktik yang secara tradisional dikaitkan dengan mengusir roh jahat, tetapi telah digunakan sejak Februari untuk menunjukkan perbedaan pendapat terhadap militer.
Amerika Serikat memimpin kecaman internasional atas hukuman tersebut, dengan Menteri Luar Negeri Antony Blinken menyebut hukuman itu "tidak adil" dan "penghinaan terhadap demokrasi dan keadilan".
Artikel Terkait
Mengenal Mom Shaming, Toxic yang Kerap Dialami Mama Milenial dan Gen Z
Bak di Film, Kisah Haru Pasutri yang Sempat Terpisah Saat Gunung Semeru Meletus
Joe Biden Akan Didepak dari Gedung Putih, Kamala Haris Siap Tempati Kursi Presiden AS?
Ingatkan Pemerintah Soal Pinjaman Luar Negeri, Pengamat Ungkap Cara China Jebak Indonesia dengan Utang
Kota Bogor Akan Terapkan Sistem Buka Tutup Sejumlah Ruas Jalan Jelang Nataru 2022