FREKUENSINEWS — Sebuah peristiwa dugaan penipuan politik yang menyeret nama Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Wonogiri, Suryo Suminto, menjadi sorotan publik. Kasus ini mencuat setelah Haji Tarso, seorang tokoh politik lokal dan mantan anggota Fraksi PDIP Wonogiri, mengklaim bahwa dirinya menjadi korban penipuan dalam proses pencalonan sebagai Bakal Calon Bupati Wonogiri 2024.
Dalam pengakuannya, Haji Tarso menyebut bahwa dirinya diminta melepas keanggotaan dari PDIP dan dijanjikan dukungan penuh oleh DPC Gerindra untuk maju dalam Pilkada. Bahkan, sebagai bentuk komitmen dan kontribusi politik, ia mengaku telah menyerahkan dana sebesar Rp 500 juta kepada DPC Gerindra Wonogiri. Dana tersebut disebut-sebut digunakan untuk keperluan logistik dan konsolidasi politik di tingkat akar rumput.
Namun, secara tiba-tiba, dukungan dari Partai Gerindra dicabut oleh Suryo Suminto, dan pencalonan Haji Tarso kandas. Belakangan, pencabutan dukungan tersebut diduga berkaitan dengan kepentingan pribadi, yakni pengusungan menantu Suryo oleh calon rival, Setyo Sukarno, sebagai calon wakil bupati.
Baca Juga: Kejati Sumsel Dinilai Tidak Serius Tangani Kasus Pemalsuan Dokumen RUPSLB Bank Sumsel Babel
Cerminan Buram Politik Transaksional
Kasus ini membuka diskusi luas mengenai integritas politik lokal, etika partai, serta lemahnya akuntabilitas internal partai politik di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dan otoritas struktural di partai politik bisa dikapitalisasi untuk kepentingan pribadi dan keluarga, merusak prinsip meritokrasi dan demokrasi sehat.
Secara sosiologis, peristiwa ini mencerminkan relasi patron-klien, sebagaimana dikaji oleh ilmuwan politik James C. Scott. Dalam relasi ini, kekuasaan elite partai dimanfaatkan untuk menjual dukungan kepada pihak yang ingin maju dalam kontestasi politik, mengabaikan transparansi dan proses seleksi yang adil.
Baca Juga: Pemuda Ditemukan Mengambang di Sungai Lusi, Warga Kaget dan Polisi Lakukan Evakuasi
Aspek Hukum: Dugaan Penipuan dan Perbuatan Melawan Hukum
Dari sudut pandang hukum, tindakan oknum Ketua DPC Gerindra ini berpotensi melanggar Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH) serta Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan:
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."
Sementara Pasal 378 KUHP menyebut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang... dihukum karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Jika terbukti bahwa dana sebesar Rp 500 juta diserahkan atas dasar janji dukungan yang kemudian dibatalkan sepihak, maka unsur-unsur penipuan telah terpenuhi.