Petani Hutan Kawasan Gerbang OKU Selatan Keluhkan Pungutan 100 Ribu Per Hektar, Ini Penjelasan KPH

photo author
- Kamis, 31 Juli 2025 | 15:00 WIB
Petani Hutan Kawasan Gerbang OKU Selatan Keluhkan Pungutan 100 Ribu Per Hektar, Ini Penjelasan KPH (Frekuensinews )
Petani Hutan Kawasan Gerbang OKU Selatan Keluhkan Pungutan 100 Ribu Per Hektar, Ini Penjelasan KPH (Frekuensinews )

FREKUENSINEWS - Sejumlah petani hutan di kawasan Gerbang OKU Selatan menyuarakan kegelisahan mereka terkait pungutan sebesar Rp 100 ribu per hektare untuk pengelolaan kawasan hutan. Pungutan itu, yang seharusnya merupakan kewajiban legal dalam bentuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dibayarkan secara kolektif melalui tenaga teknis pengelolaan hutan, bukan langsung oleh para petani.

Para petani mempertanyakan transparansi dan mekanisme pembayaran tersebut. Salah seorang petani yang enggan disebutkan namanya mengaku bingung dan khawatir.

Para petani mempertanyakan transparansi dan mekanisme pembayaran tersebut. Salah seorang petani yang enggan disebutkan namanya mengaku bingung dan khawatir.

“Kami pikir harusnya bayar langsung, tapi ternyata dikumpulkan lewat satu orang dulu. Kami jadi takut, jangan-jangan tidak sesuai aturan,” ujarnya dengan nada ragu.

Kelompok-kelompok petani ini rata-rata mengelola lahan seluas 100 hingga 120 hektare, dan terdiri dari 50 hingga 60 anggota. Di tengah keterbatasan pemahaman dan minimnya informasi resmi yang diterima, keraguan pun muncul.

Menanggapi hal itu, Sazili, tenaga teknis pengelolaan hutan yang menjadi sorotan para petani, memberikan klarifikasi tegas. Menurutnya, sistem kolektif yang dijalankan justru merupakan bentuk pendampingan, bukan pelanggaran aturan.

“Pembayaran PNBP memang bukan dilakukan langsung oleh masing-masing petani. Sesuai ketentuan, pembayaran dilakukan oleh pengurus kelompok tani hutan. Jika pengurus belum mampu membayar karena kendala teknis atau sumber daya, maka KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) bisa turun tangan membantu prosesnya,” jelas Sazili.

Ia menambahkan bahwa langkah ini dilakukan demi menjaga kelancaran administrasi dan menghindari keterlambatan pembayaran yang bisa merugikan kelompok secara keseluruhan.

“Kalau menunggu satu per satu dari anggota, prosesnya bisa mandek. Maka dari itu, KPH dan tenaga teknis hadir untuk memfasilitasi, bukan mengambil alih,” tegasnya.

Namun, ia tak menampik bahwa tantangan terbesar adalah rendahnya kesadaran kolektif petani terhadap kewajiban legal seperti PNBP.

“Masih banyak yang belum paham pentingnya pembayaran ini untuk legalitas dan keberlanjutan usaha mereka di kawasan hutan,” tambahnya.

Meski demikian, petani tetap berharap adanya sosialisasi yang lebih terbuka dan rutin dari instansi terkait. Mereka ingin merasa dilibatkan secara utuh, bukan sekadar menjadi objek kebijakan.

“Kami bukan menolak bayar, kami cuma ingin penjelasan yang jelas dan resmi. Supaya tidak ada kecurigaan, dan semuanya berjalan transparan,” kata seorang petani lainnya.

Ke depan, pemerintah daerah dan dinas kehutanan diminta lebih aktif mendorong komunikasi dua arah serta edukasi intensif bagi petani hutan. Dengan begitu, pengelolaan kawasan hutan bisa berjalan sesuai regulasi, namun tetap berpihak pada masyarakat.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ersangkut Frekuensinews

Tags

Rekomendasi

Terkini

X