Frekuensi News - Budaya toxic masculinity ini sudah lama mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat dan telah menjadi sebuah kewajaran. Padahal menurut beberapa penelitian, toxic masculinity sangat berdampak buruk bagi kesehatan mental laki-laki.
Apa itu toxic masculinity?
Istilah toxic masculinity lahir dari gerakan mythopoetic men’s selfimprovement dan pertama kali digunakan oleh psikolog Shepherd Bliss tahun 1980-an dan 1990-an.
Toxic masculinity merupakan gagasan tentang “kejantanan” yang melekat pada laki-laki. Pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, harus kuat dan tangguh.
Pandangan seperti itu, membuat mereka tidak memiliki tempat untuk menyalurkan emosinya. Sehingga membawa mereka terjebak dalam konsep maskulinitas yang beracun (toxic masculinity).
Baca Juga: Resensi Buku Generasi Z: Mengenal Karakternya di Dunia Kerja
Banyak kasus, laki-laki yang terjebak dalam maskulinitas beracun pada akhirnya selalu meluapkan segala tekanan dan kekecewaan yang ia terima, menjadi kemarahan.
Akibatnya laki-laki memiliki pemikiran bahwa satu-satunya emosi yang dapat ditunjukkan adalah amarah. Kemarahan yang diluapkan melalui kekerasan baik secara verbal dan non-verbal.
Bahkan untuk semakin mendukung bahwa “laki-laki harus tangguh, kuat, dan tidak cengeng”, kemarahan tersebut berkembang menjadi kekerasan.
Kekerasan ini digunakan sebagai pengakuan bahwa mereka adalah sosok yang kuat. Padahal, setiap manusia baik lelaki maupun perempuan lahir dengan sisi feminine dan itu adalah manusiawi.
Baca Juga: Kisah Memilukan! Seorang Gadis yang Depresi Karena Dihamili dan Dipaksa Aborsi Berujung Bunuh Diri
Beberapa peneliti dari Amerika sepakat bahwa toxic masculinity memiliki tiga komponen inti:
1. Ketangguhan: Gagasan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, emosional (tidak berperasaan), dan agresif.
2. Antifeminitas: Gagasan bahwa laki-laki harus menolak apa pun yang dianggap feminisme, seperti menunjukkan emosi, menerima bantuan, dan perawatan diri.
3. Kekuasaan: Gagasan bahwa laki-laki harus bekerja untuk mendapatkan kekuasaan dan status (sosial dan finansial) untuk mendapatkan rasa hormat orang lain.
Sebuah studi mengenai kebiasaan pria tentang kemaskulinan (2007), menemukan bahwa semakin banyak laki-laki yang memiliki keyakinan toxic masculinity dengan norma-norma maskulin yang beracun.
Semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat dalam kebiasaanya yang berisiko, seperti minuman berakohol, merokok, menghindari sayuran, tidak merawat diri dianggap hal yang normal dilakukan laki-laki.
Baca Juga: NWR Memiliki Impian Menjadi Guru: Di balik 'Tagar SAVENOVIAWIDYASARI' Inilah Alasan Ia Ingin Menjadi Guru
Toxic masculinity berdampak buruk bagi kesehatan mental laki-laki
Pada 2019, American Psychological Association (APA), menyimpulkan bahwa maskulinitas tradisional secara psikologis berbahaya.
Menekan perasaan dan emosi anak laki-laki dapat menciptakan kerusakan, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Maskulinitas beracun membuat laki-laki enggan mendapatkan perawatan kesehatan mental, depresi, kecemasan, ketergantungan zat, dan masalah mental lainnya dipandang sebagai kelemahan.
Sebuah studi tentang Psychology of Men & Masculinity (2015), mengungkapkan bahwa laki-laki dengan sifat maskulinitas tradisonal menolak dan bersikap negatif dengan layanan kesehatan mental.
Baca Juga: 10 Situs Jurnal Bahan Referensi Karya Tulis, Pelajar dan Mahasiswa Wajib Baca!
Toxic masculinity menganggap bahwa tidak pantas bagi lelaki untuk membicarakan perasaan mereka. Padahal, menghindari percakapan ini dapat menyebabkan perasaan terisolasi dan kesepian.
Hal ini dapat mengurangi keinginan laki-laki untuk mendapatkan bantuan ketika mereka mengalami masalah kesehatan mental.
Penyebab Munculnya toxic masculinity
Toxic masculinity umumnya terjadi karena adanya pemisahan peran gender antara perempuan dan laki-laki yang membatasi ekspresi manusia berdasarkan jenis kelamin.
Penelitian O'nel (1990) menunjukkan bahwa laki-laki mengalami konflik yang terkait dengan empat domain peran laki-laki:
1. Kesuksesan, kekuasaan, dan kompetisi. Laki-laki selalu ditempatkan di posisi kekuasaan dan sebagai pemimpin.
2. Emosionalitas, mengalami konflik dalam mengekspresikan kenyaman dan mengalami emosi yang rentan.
3. Membatasi diri dengan tidak berperilaku yang menunjukan kasih sayang, mengalami konflik sayang.
4. Konflik antara pekerjaan dan keluarga (ketidakseimbangan work life balance) menyebabkan stres.
Pengaruh budaya toxic masculinity seperti "Laki-laki tidak boleh menangis" mengakibatkan laki-laki menekan emosinya daripada harus memperlihatkan. Tuntutan "Harus selalu kuat" membuat laki-laki kehilangan emosinya dalam bermasyarakat.
Baca Juga: Budaya Feodalisme pada Pendidikan Indonesia Menghambat Sikap Kritis Pelajar
Cara mengatasi toxic masculinity
Menghilangkan atau mengubah presepsi maskulinitas beracun tidak akan terjadi dalam semalam.
1. Mulailah dengan mendefinisikan ulang secara sehat makna seorang lelaki.
2. Meninggalkan semua sifat tradisional maskulin, seperti “tidak menunjukkan emosi”, “kekerasan sebagai tolak ukur kekuatan”, dan sebagainya.
3. Membuka diri dan memberi ruang bagi orang lain untuk membantu mengubah gagasan maskulinitas.
4. Mengundang seorang teman untuk berbagi emosi atau perasaan, dan mendiskusikannya tanpa penilaian atau kritik terhadap semua luapan emosi itu.
5. Memperluas dan mengintegrasikan konsep-konse baru makna maskulinitas, dengan membantu orang sekitar untuk mendefinisikan kembali maskulinitas dan mengatasi pola pikir ketinggalan zaman yang merusak mental.***
Artikel Terkait
Resensi Buku Generasi Z: Mengenal Karakternya di Dunia Kerja
Motivasi Untuk Kamu si Pejuang Skripsi: Tepat Waktu atau Tidak Tepat Waktu
IVE Debut dengan Lagu 'Eleven', Visual Member Curi Perhatian Warganet!
Lisa BLACKPINK Melakukan Debut Runway-nya di Celine Spring 2022 Show, Ini Penampilannya